Metro, 16
March 2014 | 01:07
Tulisan ini sebuah catatan perjalanan kami tahun 2000,
tatkala kami masih menempuh pendidikan strata satu di STAIN Metro, dan
kebetulan mendapatkan mandat dari PMII Cab. Metro salah satu organisasi
kemahasiswaan.
Tujuannya adalah untuk mengikuti pelatihan advokasi
lingkungan. Kebetulan diadakan di sebuah gedung di Kota Pekanbaru. Kota yang
menurut kami cukup panas karena sudah sangat minimnya tanaman rindang yang
menghiasi setiap sudut kota.
Kebetulan kami berdua yang mendapatkan mandat, dengan
ongkos yang teramat sedikit kami beranikan diri untuk “nekad” naik bus menuju
ke tempat tujuan. Meski baru kali pertama kami mengenal Provinsi Riau dari
dekat. Namun, karena alamat tujuan dan sarana transportasi tersedia, maka tak
menjadikan kesulitan berarti bagi kami. Meskipun kota tersebut baru kami kenali
dari peta dan siaran televisi saja… terkesan ndusun ya?. Ah nggak masalah
karena bagi kami pernah ataupun tidak bukanlah persoalan yang penting tujuannya
baik dan tentu saja karena materi ilmunya yang sangat bermanfaat.
Dan alhamdulillah, kami bisa menemukan bus yang kami
maksudkan, dengan bus Handoyo kami terpaksa berdiri sampai ke tempat tujuan.
Persoalannya karena bus tersebutlah satu-satunya yang terakhir dapat kami
temukan sebelum pembukaan acara dimulai. Bukan kami tak mau membayar alias
gratis, tetapi karena tempat duduk sudah full jadi kami terpaksa berdiri meski
lutut terasa nyeri yang penting bisa sampai ke tempat tujuan dengan selamat.
Di sepanjang jalan kami merasakan keindahan yang tak
terkira tatkala perjalan tersebut masih melewati seputaran Kota Palembang,
Sumatera Selatan. Tentu saja karena gugusan perbukitan yang membentang
membentuk panorama yang indah. Pepohonan masih terawat sehingga terlihat asri.
Jalan yang berliku-liku di bawahnya jurang terjal menambah suasana menegangkan
dan memacu adrenalin kami.
Penampakan alam terlihat berbeda tatkala kami memasuki
wilayah Provinsi Riau. Di sepanjang jalan, kami melewati kawasan hutan yang
sudah terbakar. Bahkan ada di antara area yang terbakar asap-asap putih masih
mengepul. Dan beberapa kilometer dari lahan terbakar tersebut, sudah tumbuh
deretan tanaman karet yang masih berumur beberapa bulan saja. Sontak saja kami
terkejut dan keheranan sekaligus gundah gulana.
Keheranan dan kegundahan kami tak sampai di situ,
karena kami mendapati banyak hutan yang sudah menggundul membentang sepanjang
penglihatan kami. Sungguh ironis, menyedihkan dan miris saya melihatnya. Bahkan
saya merasa bersedih tatkala pola masyarakat Provinsi Riau dan perusahaan
perkebunan begitu mudahnya melakukan perusakan tanpa mendapatkan sanksi dari
pemerintah daerah. Saya pun sedikit menduga, boleh jadi karena ada kongkalikong
antara pengusaha dan pejabat daerah.
Kongkalikong tersebut begitu kentara, karena di
sepanjang perjalanan kami melintasi area hutan ternyata hutan-hutan di sana
habis dibabat dan dipersiapkan menjadi lahan perkebunan. Tak hanya perusahaan
besar, sebagian masyarakatnya pun tak kalah gesitnya tatkala membakar
lahan-lahan mereka untuk ditanami. Bahkan mungkin pembakaran hutan dan lahan
perkebunan sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun. Dan sayangnya tidak ada
sedikitpun gerak pemerintah daerah atau pusat dalam mencegah pembakaran hutan.
Andaikan ada pelarangan hutan, belum ada satupun pengusaha yang tertangkap
akibat ulah mereka.
Imbas dari kenakalan petani dan pengusaha perkebunan
adalah yang saat ini dirasakan masyarakat Provinsi Riau. Boleh jadi sebelum
adanya bencana asap ini, penduduk dan pemerintah daerah kurang responsif
terhadap prilaku illegal loging dan pembakaran hutan. Sehingga dampaknya tentu
saja kabut asap yang dianggap bencana nasional hakekatnya akibat dari prilaku masyarakatnya
yang tidak peduli dan terkesan membiarkan perusakan hutan terjadi secara
sistematis.
Melihat proses perusakan yang sistematis tersebut, PB
PMII dan difasilitasi dan dilaksanakan oleh PC PMII Riau mengadakan pelatihan
advokasi lingkungan. Tujuannya adalah memberikan pelatihan kepada mahasiswa
terkait teknis melakukan gugatan secara pidana atas perusakan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat dan pengusaha perkebunan.
Sayang sekali meskipun catatan kecil ini adalah
reportase faktual, kami tidak dapat menayangkan
bukti kongkrit karena belum
memiliki HP berkamera maupun kamera khusus ketika kami melaksanakakn tugas
organisasi.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar