Selama pagi
sahabat-sahabat Indonesia-menghijau. Alhamdulillah disela-sela aktifitas saya di pagi
hari saya masih menyempatkan diri untuk berbagi tulisan yang mudah mudahan
bermanfaat ‘tuk saya sendiri dan pembaca pada umumnya.
Kali ini
saya ingin menanggapi aturan baru pemerintah terkait kenaikan gas LPG. Harga
gas LPG 12 kg naik sebesar 3.959/kg Sumber di sini. Kebijakan ini berlaku per Januari
2014 dan berlaku hingga keputusan kenaikan harga ini dianulir oleh pemerintah.
Padahal jika
sudah sampai ke pedagang pengecer harganya bisa mencapai Rp 150.000 per 12 kg.
Bahkan menurut m.jpnn.com bahwa naikan harga tersebut di tangan pengecer tembus
pada kisaran harga harga Rp18.000 per 12 kg. Sumber di sini.
Kenaikan yang cukup tinggi jika diukur menurut ukuran dapur saya. Ya saya
mengukurnya dari isi kantong sendiri. Berbeda jika kebijakan tersebut diukur
menurut para pejabat dan pengusaha yang dompetnya penuh dengan
lembaran-lembaran rupiah. Akan tetapi untuk kalangan kelas bawah seperti saya
sepertinya kenaikannya sangat memberatkan. Coba saja kita hitung, jika biasanya
kita bisa bisa menggunakan uang Rp3.000 untuk persiapan uang jajan anak-anak,
maka karena kenaikan gas LPG ini otomatis akan memotong jatah anak saya. Otomatis
istri saya harus mencari sumber lain untuk menggantikan jatah uang jajan yang
sudah terpotong.
Penggunaan
gas 12 kg amat jarang dilakukan oleh keluarga yang golongan sederhana, karena
mereka rata-rata mendapatkan tabung gas gratis 3 kg yang dibagikan oleh
pemerintah beberapa waktu lalu. Meskipun kenaikan ditujukan untuk tabung ukuran
12 kg ternyata saat ini dampaknya sudah mulai terasa. Karena tidak hanya gas
seukuran 12 kg tapi juga berimbas pada gas ukuran 3 kg. Sebuah dampak sistemik
yang kemugkinan tidak diharapkan oleh pemerintah, akan tetapi kenaikan tersebut
secara otomatis dilakukan terhadap gas ukuran 3 kg karena para pembeli yang
biasanya membeli dan menggunakan gas seukuran besar, karena kenaikan harga maka
mereka berpindah ke gas 3 kg. Nah, jika semua orang beralih ke gas 3 kg maka
stok gas tersebut akan berkurang bahkan habis. Hal itu terjadi karena naiknya
permintaan gas 3 kg yang sejatinya diperuntukkan bagi kalangan miskin dan tentu
saja disubsidi oleh pemerintah.
Kebijakan
yang tentu saja tidak bijak dan tidak memenuhi rasa keadilan jika diukur pada
taraf kebutuhan masyarakat pada umumnya. Meskipun kebijakan ini dianggap
semata-mata pertimbangan bisnis, akan tetapi dampaknya adalah
masyarakat kecil yang hampir semuanya menggunakan gas LPG.
Pada titik
ini pemerintah sudah melakukan kesalahan besar karena sebagaimana kebijakan
yang dikeluarkan tersebut, terlihat pemerintah tidak lagi mampu mengendalikan
hancurnya nilai rupiah lantaran ketidak mampuan mencukupi kebutuhan gas dalam
negeri. Ditambah lagi keresahan kalangan miskin yang semakin-lama semakin
menjadi lantaran gas 3 kg yang biasanya mereka dapatkan, saat ini sulit
ditemukan.
Tidak perlu
jauh-jauh saya memberikan contoh, di Kota Metro, Lampung, di mana saya tinggal
saat ini harga harga gas 3 kg yang biasanya dijual dengan harga Rp.18.000,
karena kenaikan harga tersebut saat ini menjadi Rp 20.000 s.d Rp 21.000 jika
dibeli dari pengecer. Bahkan dibeberapa daerah pun mengalami masalah yang sama.
Sumber disini
Dampak yang
semestinya tak perlu terjadi pada tabung gas jenis ini. Akan tetapi, kebijakan
ekonomi pasar lagi-lagi menjadi awal mula semua konflik harga di tangan para
penjual. Mereka sengaja menaikkan harga bukan karena tanpa alasan, karena stok
yang mulai sulit terpenuhi lantaran tingginya permintaan pasar, ditambah lagi
memang gas jenis 3 kg sudah mulai disimpan oleh para pedagang, dengan alasan mengantisipasi
kenaikan harga yang sewaktu-waktu terjadi. Spekulasi ekonomi yang menguntungkan
pemerintah dan pedagang akan tetapi kiamat bagi para konsumen masyarakat kecil.
Dampak
kenaikan harga gas tersebut tidak melulu dirasakan oleh para konsumen skala rumahan.
Akan tetapi, para pedagang bakso, gorengan, mie ayam, nasi uduk, sate dan semua
pedagang kecil harus merasakan kenaikan ini. Mau tidak mau para pedagang yang
biasanya menjual penganan mereka dengan harga standar,otomatis mereka akan
menaikkan harganya disesuaikan dengan kenaikan harga gas saat ini.
Satu bagian
konflik harga antara pedagang dan konsumen yang sudah terjadi ditambah lagi
kenaikan akan berdampak pada harga penganan lainnya yang sepatutnya tidak
terjadi. Lagi-lagi masyarakat konsumen golongan miskin menjadi korbannya.
Dampak Kenaikan Gas dan Ancaman Terhadap Hutan di Indonesia
Seperti
biasanya, dampak kenaikan bahan bakar akan selalu berdampak kepada sektor lain
yang saling berkaitan. Hal tersebut dikarenakan sistem ekonomi selalu selalu
bersinggungan antara satu aspek ke aspek lainnya secara otomatis.
Selain
dampak kenaikan harga gas berpengaruh terhadap harga-harga lainnya, yang lebih
mengkahawatirkan lagi justru terjadi pada kelestarian hutan di Indonesia.
Karena secara tidak langsung masyarakat di perdesaan akan kembali menggunakan
kayu bakar sebagai alternatif bahan bakar dapur mereka. Karena dengan alasan
gas sudah sulit dan mahal, dengan menggunakan kayu bakar dianggap lebih mudah
dan efektif lantaran mereka akan memburu kayu bakar yang ada di sekitarnya.
Boleh jadi penebangan kayu juga merambah ke hutan di sekitar mereka. Hal
ini biasanya terjadi pada masyarakat desa-meskipun masyarakat kota masih ada
saja yang menggunakannya-akan tetapi karena dampak yang melebar tersebut,
hutan-hutan yang sepatutnya dijaga bisa saja mengalami kerusakan lantaran
sulitnya mendapatkan bahan bakar untuk memasak.
Sebagaimana
kita ketahui, ketika masyarakat masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan
bakar memasak, kondisi hutan Indonesia pun sudah mengalami kerusakan. Apalagi
ketika kondisi bahan bakar gas sudah sulit diperoleh apalagi mahal, maka
otomatis dengan sikap alternatif bahan bakar lain. Dan ternyata hanya kayu
bakarlah yang saat ini dapat mereka peroleh dengan mudah.
Andaikan
masyarakat kesulitan mencari kayu bakar di hutan karena jarak yang jauh, maka
para perusak hutan atau para pelaku ilegal logging mulai melancarkan
aksinya. Jikalau semua masyarakat sudah terbentur masalah yang pelik ini maka
rakyat sendiri yang jadi korban.
Langkah yang
harus dilakukan masyarakat
Langkah
sepertinya yang harus dilakukan oleh masyarakat sebagai “korban” kebijakan
sepihak pemerintah adalah dengan melakukan penghematan dalam penggunaan gas
ini. Karena hanya dengan cara ini kondisi budget akan dapat terjaga dengan aman.
Kita tidak bisa meminta pemerintah menurunkan harga gas karena nilai rupiah
juga lemah, maka wajar saja semua harga kebutuhan masyarakat dipertaruhkan.
Langkah selanjutnya mencari alternatif briket batubara yang dahulu pernah
dicanangkan pemerintah sebagai alternatif lain selain gas. Meskipun hal inipun
sulit dilakukan karena ketersediaan kompor dan briket memang hanya ditataran
program dan tak pernah menyentuh masyarakat bawah.
Jika
penggunaan kayu bakar sudah sangat mendesak, maka sepatutnya tetap memperhatiakn
konsep pelestarian lingkungan dan hutan sebagai paru-paru dunia. Tidak merusak
pohon induk akan tetapi memanfaatkan batang atau ranting yang dapat
dipergunakan sebagai bahan bakar.
Hanya itulah
mungkin yang saat ini dapat kita lakukan agar kondisi terkait kenaikan gas ini
tidak berdampak secara sistemik terhadap kondisi lingkungan kita.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar