Senin, 16 Juni 2014

Melestarikan Tanaman Produktif di Pekarangan Rumah


Iya juga ya sebenarnya kalau namanya hobi tentang tanaman tidak semuanya sama, ada yg lebih suka ngampar di pekarangan, ada yang langsung di polybag. Tentu alasannya juga beragam. Kalau di pekarangan atau halaman rumah pastinya karena memang ada lahan yang bisa ditanami. Lain halnya kalau tidak ada lahan yang dipakai untuk bertanam ria, tentu saja media polybag atau pot cukup membantu melepaskan hasrat menanam. Entah itu hanya sekedar tanaman bunga seperti yang biasa mbak-mbak kerjakan di rumah, ada pula yang sengaja menanam sayuran dan bumbu masak di pekarangan rumah dengan media polybag tersebut. Ya, seperti Walikota Surabaya Ibu Tri Rismaharini yang akrab di telinga media massa, yang sempat heboh karena kebiasaannya memanfaatkan pekarangan rumah dan kantornya dengan tanaman-tanaman bermanfaat.

Saya teringat sewaktu masih SMA dulu, di mana saya waktu itu memang hobi menanam bunga baik di pot maupun di pekarangan rumah. Tapi ee tahu-tahu ditegur bahkan ada sebagian bunga saya yang dibuang begitu saja. Padahal bunga itu juga tidak mudah mencarinya, harus blusukan (ala Jokowi) ke beberapa rumah tetangga dan teman yang juga mengoleksi bunga. Pantas saja saya pernah disebut cowok berhoby cewek. Wah, jadi jatuh harga diri saya gara-gara sebutan itu. Badan saya aja maco kog malah mengurus bunga-bungaan.

Teringat pula pesan bapak, katanya mending menanam sayuran dan bumbu dapur di pekarang dari pada menanam bunga. Apa alasannya Pak? tanyaku. Yo nek kowe nandur kembang kan ora iso dimanfaatke tapi bedo lek kowe nandor sayuran opo bumbu masak. Pesti kanggone akeh. Dengan logat Jawa yang amat kental sang Bapak memberikan pesan tersebut karena pengalaman beliau yang suka menanam sayuran.

Makanya, setelah saya mendapatkan pesan tersebut langsung saja saya ndeder (menyemai) bibit sedapatnya, bisa terong, cabai atau sledry bahkan sekarang yang lagi kondang tanaman sawi dan bunga kol yang bisa juga ditanam di dalam polybag atau pot. Lalu setelah bibit siap tanam baru saya tanam di tempat yang sudah saya persiapkan.


Sepertinya hobi tanaman memang tidak semua orang suka, lantaran ada laki-laki yang sukanya ngluyur dan pulang-pulang sore atau malam, jadi nggak pernah berfikir bagaimana membudidayakan tanaman yang bermanfaat ‘tuk kebutuhan sehari-hari. Selain ogah, alasannya tentu saja nggak menarik dan  nggak telaten. Nah faktor inilah kenapa banyak laki-laki yang tidak menyukai hobi ini, meskipun ada pula yang sangat gandrung dengan tanaman, apa saja menjadi tanaman hias, bahkan dia menemukan tonggak pohon pun dikeduk lantaran akan dibonsai. Itulah yang namanya hoby.


Kembali kepada melestarikakn tanaman produktif, dimana sejatinya ada banyak tanaman yang dapat kita budidayakan di dalam lahan pekarangan kita. Entah di dalam pot, polybag, paralon, atau gelas-gelas atau botol minumal ringan yang banyak bertebaran di TPA atau di kotak sampah. Tentu saja faktor telaten itupun harus dimiliki oleh penyuka hobi tanaman. Karena dengan cara memungut sampah tersebut sejatinya dia sudah memanfaatkan barang bekas dengan membuatnya menjadi bermanfaat.

Bisa langsung dengan media tanah, bisa juga dengan media air dengan sebutan hydroponik. Itu semua merupakan media untuk menyalurkan hoby terhadap tanaman hias. Tidak melulu bunga yang dijadikan bahan penghias pekarangan.

Kira-kira manfaat manakah menanam tanaman produktif seperti sayur dan bumbu masak di pekarangan dibandingkan menanam bunga? Tentu saja banyak perbedaannya. Pertama jika kita menanam bunga kalau bunga itu tidak untuk dijual alias hanya koleksi dan pajangan maka selamanya bunga itu tidak menghasilkan, bahkan lama-lama juga akan diganti dengan yang baru karena semakin lama semakin tua dan pemiliknya ikut bosan. Beda halnya dengan menanam sayuran atau bumbu masak, tentu manfaatnya selain sebagai penghias halaman, juga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau kita merasa sudah cukup dengan bumbu dan berniat menjual maka tanaman itu kalau banyak pasti menghasilkan uang. Dan terus menerus berbuah hingga beberapa kali. Seperti cabai dan terong yang dapat dipanen beberapa kali sampai tanaman mati. Tapi berbeda dengan sayuran seperti sawi, bunga kol dan sledry cukup sekali tanam dan sekali itu pula dipanen. Jika ingin menanam lagi tentu saja harus melakukan pembibitan ulang.

Cukup ribet ya? ya itulah namanya hobi, tapi bagi siapa saja yang menyukai tanaman, tentu hati pelakunya akan lebih tenang, ayem dan nggak banyak pikiran. Karena pengalaman saya ketika kita mau membudidayakan tanaman di sekitar kita pertama kita mendapat hiburan murah karena ketenangan ketika menghadapi tanaman-tanaman kita. Kedua kita mendapatkan penghasilan jika tanaman yang kita budidayakan membuahkan hasil yang banyak.

Tapi kalau kita ingin membudidayakan bunga, tentu saja bunga-bunga yang layak dijadikan hiasan namun biasanya harganya cukup mahal. Sehingga jarang sekali orang yang mau membudidayakannya.

Cukup itu saja tulisan saya, sekedar sharing pengalaman mudah2an membuka cakrawala kita bahwa sekecil apapun pekarangan sejatinya harus dimanfatkan semaksimal mungkin. Selain lingkungan bersih, sehat tentu saja menghasilkan. Dan ada bonus tambahan sebagai sarana hiburan.

Salam

Gas LPG Naik, Dampaknya Terhadap Kerusakan Hutan




Selama pagi sahabat-sahabat Indonesia-menghijau. Alhamdulillah disela-sela aktifitas saya di pagi hari saya masih menyempatkan diri untuk berbagi tulisan yang mudah mudahan bermanfaat ‘tuk saya sendiri dan pembaca pada umumnya.

Kali ini saya ingin menanggapi aturan baru pemerintah terkait kenaikan gas LPG. Harga gas LPG 12 kg naik sebesar 3.959/kg  Sumber di sini.  Kebijakan ini berlaku per Januari 2014 dan berlaku hingga keputusan kenaikan harga ini dianulir oleh pemerintah.

Padahal jika sudah sampai ke pedagang pengecer harganya bisa mencapai Rp 150.000 per 12 kg. Bahkan menurut m.jpnn.com bahwa naikan harga tersebut di tangan pengecer tembus pada kisaran harga harga Rp18.000 per 12 kg. Sumber di sini. Kenaikan yang cukup tinggi jika diukur menurut ukuran dapur saya. Ya saya mengukurnya dari isi kantong sendiri. Berbeda jika kebijakan tersebut diukur menurut para pejabat dan pengusaha yang dompetnya penuh dengan lembaran-lembaran rupiah. Akan tetapi untuk kalangan kelas bawah seperti saya sepertinya kenaikannya sangat memberatkan. Coba saja kita hitung, jika biasanya kita bisa bisa menggunakan uang Rp3.000 untuk persiapan uang jajan anak-anak, maka karena kenaikan gas LPG ini otomatis akan memotong jatah anak saya. Otomatis istri saya harus mencari sumber lain untuk menggantikan jatah uang jajan yang sudah terpotong.

Penggunaan gas 12 kg amat jarang dilakukan oleh keluarga yang golongan sederhana, karena mereka rata-rata mendapatkan tabung gas gratis 3 kg yang dibagikan oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Meskipun kenaikan ditujukan untuk tabung ukuran 12 kg ternyata saat ini dampaknya sudah mulai terasa. Karena tidak hanya gas seukuran 12 kg tapi juga berimbas pada gas ukuran 3 kg. Sebuah dampak sistemik yang kemugkinan tidak diharapkan oleh pemerintah, akan tetapi kenaikan tersebut secara otomatis dilakukan terhadap gas ukuran 3 kg karena para pembeli yang biasanya membeli dan menggunakan gas seukuran besar, karena kenaikan harga maka mereka berpindah ke gas 3 kg. Nah, jika semua orang beralih ke gas 3 kg maka stok gas tersebut akan berkurang bahkan habis. Hal itu terjadi karena naiknya permintaan gas 3 kg yang sejatinya diperuntukkan bagi kalangan miskin dan tentu saja disubsidi oleh pemerintah.

Kebijakan yang tentu saja tidak bijak dan tidak memenuhi rasa keadilan jika diukur pada taraf kebutuhan masyarakat pada umumnya. Meskipun kebijakan ini dianggap semata-mata pertimbangan bisnis, akan tetapi dampaknya adalah masyarakat kecil yang hampir semuanya menggunakan gas LPG.

Pada titik ini pemerintah sudah melakukan kesalahan besar karena sebagaimana kebijakan yang dikeluarkan tersebut, terlihat pemerintah tidak lagi mampu mengendalikan hancurnya nilai rupiah lantaran ketidak mampuan mencukupi kebutuhan gas dalam negeri. Ditambah lagi keresahan kalangan miskin yang semakin-lama semakin menjadi lantaran gas 3 kg yang biasanya mereka dapatkan, saat ini sulit ditemukan.

Tidak perlu jauh-jauh saya memberikan contoh, di Kota Metro, Lampung, di mana saya tinggal saat ini harga harga gas 3 kg yang biasanya dijual dengan harga Rp.18.000, karena kenaikan harga tersebut saat ini menjadi Rp 20.000 s.d Rp 21.000 jika dibeli dari pengecer. Bahkan dibeberapa daerah pun mengalami masalah yang sama. Sumber disini

Dampak yang semestinya tak perlu terjadi pada tabung gas jenis ini. Akan tetapi, kebijakan ekonomi pasar lagi-lagi menjadi awal mula semua konflik harga di tangan para penjual. Mereka sengaja menaikkan harga bukan karena tanpa alasan, karena stok yang mulai sulit terpenuhi lantaran tingginya permintaan pasar, ditambah lagi memang gas jenis 3 kg sudah mulai disimpan oleh para pedagang, dengan alasan mengantisipasi kenaikan harga yang sewaktu-waktu terjadi. Spekulasi ekonomi yang menguntungkan pemerintah dan pedagang akan tetapi kiamat bagi para konsumen masyarakat kecil.

Dampak kenaikan harga gas tersebut tidak melulu dirasakan oleh para konsumen skala rumahan. Akan tetapi, para pedagang bakso, gorengan, mie ayam, nasi uduk, sate dan semua pedagang kecil harus merasakan kenaikan ini. Mau tidak mau para pedagang yang biasanya menjual penganan mereka dengan harga standar,otomatis mereka akan menaikkan harganya disesuaikan dengan kenaikan harga gas saat ini.

Satu bagian konflik harga antara pedagang dan konsumen yang sudah terjadi ditambah lagi kenaikan akan berdampak pada harga penganan lainnya yang sepatutnya tidak terjadi. Lagi-lagi masyarakat konsumen golongan miskin menjadi korbannya.

Dampak Kenaikan Gas dan Ancaman Terhadap Hutan di Indonesia

Seperti biasanya, dampak kenaikan bahan bakar akan selalu berdampak kepada sektor lain yang saling berkaitan. Hal tersebut dikarenakan sistem ekonomi selalu selalu bersinggungan antara satu aspek ke aspek lainnya secara otomatis.

Selain dampak kenaikan harga gas berpengaruh terhadap harga-harga lainnya, yang lebih mengkahawatirkan lagi justru terjadi pada kelestarian hutan di Indonesia. Karena secara tidak langsung masyarakat di perdesaan akan kembali menggunakan kayu bakar sebagai alternatif bahan bakar dapur mereka. Karena dengan alasan gas sudah sulit dan mahal, dengan menggunakan kayu bakar dianggap lebih mudah dan efektif lantaran mereka akan memburu kayu bakar yang ada di sekitarnya. Boleh jadi penebangan kayu juga merambah ke hutan di sekitar mereka.  Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat desa-meskipun masyarakat kota masih ada saja yang menggunakannya-akan tetapi karena dampak yang melebar tersebut, hutan-hutan yang sepatutnya dijaga bisa saja mengalami kerusakan lantaran sulitnya mendapatkan bahan bakar untuk memasak.

Sebagaimana kita ketahui, ketika masyarakat masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak, kondisi hutan Indonesia pun sudah mengalami kerusakan. Apalagi ketika kondisi bahan bakar gas sudah sulit diperoleh apalagi mahal, maka otomatis dengan sikap alternatif bahan bakar lain. Dan ternyata hanya kayu bakarlah yang saat ini dapat mereka peroleh dengan mudah.
Andaikan masyarakat kesulitan mencari kayu bakar di hutan karena jarak yang jauh, maka para perusak hutan  atau para pelaku ilegal logging mulai melancarkan aksinya. Jikalau semua masyarakat sudah terbentur masalah yang pelik ini maka rakyat sendiri yang jadi korban.

Langkah yang harus dilakukan masyarakat

Langkah sepertinya yang harus dilakukan oleh masyarakat sebagai “korban” kebijakan sepihak pemerintah adalah dengan melakukan penghematan dalam penggunaan gas ini. Karena hanya dengan cara ini kondisi budget akan dapat terjaga dengan aman. Kita tidak bisa meminta pemerintah menurunkan harga gas karena nilai rupiah juga lemah, maka wajar saja semua harga kebutuhan masyarakat dipertaruhkan. Langkah selanjutnya mencari alternatif briket batubara yang dahulu pernah dicanangkan pemerintah sebagai alternatif lain selain gas. Meskipun hal inipun sulit dilakukan karena ketersediaan kompor dan briket memang hanya ditataran program dan tak pernah menyentuh masyarakat bawah.

Jika penggunaan kayu bakar sudah sangat mendesak, maka sepatutnya tetap memperhatiakn konsep pelestarian lingkungan dan hutan sebagai paru-paru dunia. Tidak merusak pohon induk akan tetapi memanfaatkan batang atau ranting yang dapat dipergunakan sebagai bahan bakar.
Hanya itulah mungkin yang saat ini dapat kita lakukan agar kondisi terkait kenaikan gas ini tidak berdampak secara sistemik terhadap kondisi lingkungan kita.

Salam

Enceng Gondok: Sumber Bencana Bisa Jadi Berkah

Enceng Gondok

Tulisan ini merupakan sebuah tanggapan atas berita yang disiarkan oleh Metro TV dalam acaranya “Tiga60 (3.60)″ beberapa waktu lalu, di mana dalam acara tersebut diungkapkan bahwa telah tumbuh dan berkembang tanaman berbahaya yang justru akan merusak populasi flora dan fauna di Indonesia, salah satunya tanaman enceng gondok yang dianggap sampah bagi tanaman padi bahkan sebagai perusak ekosistem rawa, danau dan perairan di Indonesia. Alasannya karena tanaman ini begitu mudah berkembang dan sulit dimusnahkan. Selain alasan tersebut berdasarkan pengamatan memang enceng gondok telah menutup danau-danau di Jakarta yang pada akhirnya terjadi pendangkalan danau serta berkurangnya spesien hewan di perairan tersebut.

Enceng gondok, dengan basa latinnya Eichhornia crassipes dan menurut Wikimedia.org “Eichhornia crassipes, commonly known as Common Water Hyacinth, is an aquatic plant native to the Amazon basin, and is often considered a highly problematic invasive species outside its native range”, bahasa kasarnya bahwa tanaman enceng gondok adalah spesies tanaman perairan yang berasal dari perairan lembah Amazon di mana keberadaannya menjadi problem yang dapat merusak keberadaan spesies lain.

Pernyataan ini sebenarnya memang tidak dapat dipandang sebelah mata, dalam tanda kutip jika tanaman ini dibiarkan liar dan tidak dimanfaatkan. Akan tetapi gejala perusakan spesies lain karena enceng gondok sebenarnya tidak perlu menjadi kekhawatiran apabila kita selaku pemilik kreatifitas mau memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan, dijadikan komoditi kreatif dan menjadi sumber energi alternatif (biomethan) yang dihasilkan dari enceng gondong ini.

Seperti halnya yang dilakukan sebagian masyarakat yang memanfaatkan tanaman gulma ini sebagai barang kreasi berupa anyaman, bentuknya bisa berupa tas, dompet dan pernak-pernik kerajinan lain yang dihasilkan oleh tanaman yang dianggap pengganggu.

Selain menjadikan enceng gondok sebagai benda kerajinan, jika kita mau memperhatikan pola prilaku salah satu hewan air tawar, yaitu lele dumbo, di mana hewan ini sangat buas dan terbukti menyukai tanaman ini, apalagi jika hewan air ini dalam kondisi yang sangat lapar. Otomatis tidak membutuhkan waktu lama untuk melahap spesies penggangu tanaman padi ini. Pendapat ini berdasarkan pengalaman saya manakala ketika saya sedikit terlambat memberikan umpan pada lele dumbo tersebut, tanpa komando semua enceng gondok dilahap oleh hewan yang cenderung doyan makan ini.

Fakta ini merupakan salah satu alternatif penghancuran atau pemanfaatan tanaman yang oleh beberapa media dan pemerintah serta petani sebagai salah satu tanaman yang sulit dibasmi lantaran begitu mudahnya mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Bahkan mendapatkan julukan spesies invasif yang selalu membuat masalah bagi manusia.

Jika kita merujuk identifikasi atas karakteristik behaviour enceng ini tentu saja sedikit banyak membuka pemahaman kita bahwa tanaman yang dianggap gulma, pengganggu serta perusak ini amat sangat bermanfaat apabila dimanfaatkan dengan cara yang benar, apalagi sebagai masyarakat yang hidup disepanjang perairan baik danau maupun sungainya tentu saja persoalan ini harus diselesaikan dengan cara yang konstruktif dan tidak menjadikannya masalah yang berlarut-larut. Seperti halnya tertutup dan tertimbunnya beberapa danau di Jakarta yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan dan berkurangnya spesies ikan di dalamnya. Imbasnya masyarakat pun mengalami kesulitan jika hendak memanfaatkan air serta ikannya karena tertutup gulma ini.

Permasalahan enceng gondok akan menjadi berkah tatkala masyarakat Indonesia khususnya penentu kebijakan publik melakukan langkah konkrit namun bermanfaat dengan memanfaatkan enceng gondok menjadi bahan layak jual dan layak pakai dengan memberikan banyak pelatihan bagi masyarakat miskin di kota besar maupun perdesaan dengan harapan masyarakat semakin sadar bahwa ada banyak potensi yang dapat dikembangkan dari tanaman gulma di sekitarnya.

Salam

Pertama kali dipublish di :

http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/10/12/sumber-bencana-pun-bisa-jadi-berkah-598026.html

Bagaimana Mengelola Sampah?



Di sana-sini, baik di pusat keramaian maupun di jalan-jalan sepi sekalipun masih ada saja sampah yang bertebaran, tidak saja ulah penduduk setempat yang sudah terbiasa membuang sampah akan tetapi ada juga pemudik dari luar kota yang dengan seenaknya membuang sampah. Kejadian ini sudah menjadi pemandangan yang amat umum di seantero wilayah negara kita, bahkan jika mau menelusuri sampai ke pusat pemerintahan sekalipun persoalan sampah masih saja merepotkan.

Kenapa sampah begitu sangat menyiksa, padahal kita tahu semua orang pastilah menghasilkan sampah baik sampah organik maupun sampah non organik yang tentu saja setiap hari akan keluar dari rumah kita. Selain itu memang budaya orang Indonesia suka membuang-buang sesuatu yang semestinya bisa dimanfaatkan. Tapi memang kebiasaan ini sepertinya sudah turun temurun. Tidak saja masyarakat tak terpelajar masyarakat berpendidikan tinggi juga masih suka membuat sampah.

Jika kita menengok persoalan sampah di sekitar kita-tidak perlu jauh-jauh mengamati sampah di Ibukota-di tempat kita sendiri yang notabene adalah kawasan kota kecil bahkan perkampungan seakan-akan sampah ini banyak menghabiskan biaya negara akan tetapi tidak kunjung diselesaikan.

Jaman dahulu, sebelum adanya aturan tentang peringatan mengenai global warming bahwa kita dilarang membakar sampah dengan alasan asap akan mencemari udara tapi mendaur ulang sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat seakan-akan membakar sampah adalah hal biasa. Di mana pun perkampungan ada saja lubang sampah di dekat rumah dengan tujuan mengumpulkan sampah kemudian dibakar agar sampah tidak menumpuk, tapi ternyata cara ini tempo dulu masih efektif karena memang tidak ada lagi sampah yang menumpuk seperti sekarang seakan-akan sampah seperti gunung yang siap meledak karena tidak pernah dijamah dan dimanfatkan secara profesional.

Jika melihat fenomena tersebut, mungkin ada benarnya membakar sampah; jika sampah itu di wilayah yang masih amat jarang penduduknya (diperkampungan) karena memang alat untuk mengolah sampah khususnya non organik belum tersedia jadi membakar sampah sangat efektif mengurangi penumpukan sampah.

Akan tetapi jika di daerah perkotaan yang notabene kepadatan penduduk amat rapat pembakaran sampah akan sangat mencemari udara di sekitarnya akan tetapi menumpuk-numpuk sampah tanpa penangannya yang benar justru akan menjadi bom waktu yang justru akan menjadi masalah yang berkepanjangan seperti timbulnya bermacam-macam penyakit, bencana longsor sampah, serta pencemaran tanah dan air akibat limbah bercampur sampah yang menumpuk.

Proses penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir sebenarnya justru tidak akan mengurangi persoalan sampah akan tetapi justru akan menambah masalah baru. Apalagi jika kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat tidak tersentuh hukum, karena jika menanti kesadaran sepertinya amat sulit mendapatkan kesadaran masyarakat akan bahaya sampah.

Lalu, bagaimana pemerintah memberikan solusi konkrit tapi murah mengingat sampah setiap hari semakin bertambah?

1. Memberikan penyuluhan yang bersifat kontinyu, tidak hanya lewat media iklan akan tetapi pada forum-forum tingkat RT sekalipun semestinya digalakkan.

2. Memberikan fasilitas kotak sampah gratis untuk tiap rumah di mana kota sampah itu sekaligus memisahkan sampah organik dan sampah non organik yang saat ini masih tersedia di lembaga-lembaga pendidikan saja tapi tidak menyentuh ke rumah-rumah penduduk.

3. Menyediakan mesin penghancur sederhana untuk jenis plastik dan kaca “contoh di Amerika” di setiap wilayah Kota / Kabupaten  yang tentu saja memang ini membutuhkan biaya yang amat mahal.

4. Memberikan training / pelatihan cara mengelola sampah menjadi benda-benda layak pakai atau layak jual seperti pembuatan kompos, dan benda-benda kreatif yang layak jual, dan ini tentu saja harus dipersiapkan pula wadah menampung hasil karya mereka. Kegiatan ini tentu saja harus mengikut sertakan mahasiswa agar mereka dapat terjun langsung mengelola masyarakat.

5.Pemerintah memiliki lembaga yang khusus membeli sampah-sampah layak beli (seperti plastik, kertas, kaleng, kaca) sehingga menjadi income bagi masyarakat sekaligus mereka akan tergerak untuk menjaga lingkungan dari sampah. Karena selama ini hanya orang-orang tertentu (pemulung) yang mau mengorek-ngorek sampah di TPA padahal kondisi sampah sudah menumpuk. Jika ada pihak suasta yang mau membeli mereka cenderung membeli dengan harga murah padahal jika dilihat barangnya semua sampah tersebut bernilai tinggi.

5. Jika kelima strategi atau cara tersebut sudah dilaksanakan tapi ternyata masih ada saja sampah yang berserakan maka undang-undang / hukum yang mengadili pembuang sampah sembarang harus segera dibuat andaikan sudah ada harus diperketat karena akibatnya masyarakat yang bandel akan tersadar bahwa apa yang mereka lakukan dengan membuang sampah adalah melanggar hukum dengan ancaman yang berat.

Dengan menggunakan strategi di atas pemerintah akan memperoleh keuntungan:

1. Sampah akan berharga sehingga tanpa dipaksapun kalau mengerti nilai jual sampah masyarakat akan selalu mengumpulkan sampah yang beserakan.

2. Pemerintah akan mampu menyediakan bahan baku produksi berasal dari sampah tanpa kesulitan melakukan impor seperti produksi piring, gelas dan semua produk dari kaca tinggal mengolah kembali sampah dari masyarakat sehingga akan lebih efektif.

3. Pemerintah akan mengurangi cost untuk pengelolaan sampah, seperti membayar tenaga kebersihan, pembelian kendaraan pengangkut sampah serta pencarian lahan untuk menumpuk sampah.

4. Meminimalisir penyakit di masyarakat karena lingkungan semakin bersih.

5. Masyarakat mendapatkan tambahan penghasilan dari hasil penjualan sampah layak jual sehingga secara tidak langsung akan mengurangi beban ekonomi masyarakat.

6. Masyarakat menjadi lebih kreatif, karena dengan bisa mengolah sampah secara langsung mendidik masyarakat untuk cerdas bagaimana mengatasi masalah sampah di sekitarnya.

Kalau upaya tersebut dilaksanakan dengan benar mudah-mudahan tidak ada alasan lagi untuk membakar sampah dan menumpuknya sampah di sekitar kita.

Salam

Ketika Bunga Alami Berubah Menjadi Plastik

Ada yang berubah di alam sekitar kita, di mana jika melakukan kunjungan ke berbagai pusat pertokoan, pasar, restoran atau hotel sekalipun banyak kita temukan bunga-bungan yang indah nan menawan akan tetapi sudah tidak alami lagi, akan tetapi sudah imitasi alias tiruan. Tiruan ini dimaksudkan karena bunga yang kita amati ternyata terbuat dari plastik, kertas dan benda-benda lainnya yang menunjukkan budaya penghijauan yang dahulu alami kini berubah menjadi tanaman-tanaman imintasi.

Perubahan model hiasan sebenarnya tidak semata-mata dapat disalahkan, karena dari segi nilai seni hal ini menunjukkan ketertarikan yang luar biasa bagi masyarakat untuk memanfaatkan benda-benda buatan menjadi bunga-bunga atau tanaman hias. Hal ini juga menunjukkan adanya tingginya kreatifitas pengusaha kerajinan bunga dalam membuat model tanaman hias.

Sebagaimana dalam konsep penghijauan semestinya kita cenderung mau menanam tanaman alami yang tentu saja tidak saja indah akan tetapi juga bermanfaat menghasilkan oksigen untuk mengatasi masalah global warming. Akan tetapi akhir-akhir ini konsep penghijauan ini sudah agak ditinggalkan justru yang muncul adalah semua tanaman yang ada dirumah berganti menjadi tanaman imitasi.

Satu kelebihan jika kita membuat tanaman hias menggunakan tanaman yang hidup, di antaranya kita selalu berusaha menjaga agar spesies tanaman tertentu tetap terjaga kelestariannya karena pada umumnya tanaman hias adalah tanaman atau bunga yang tergolong langka. Di samping itu dari segi kreativitas banyak pula tanaman hias yang berasal dari tumbuhan hidup justru menjadi icon dan ajang percontohan dalam sebuah event tanaman hias sehingga akan meningkatkan nilai dari tanaman itu sendiri dari pada menggunakan tanaman imitasi.

Selain berusaha menjaga agar tanaman tersebut tetap awet dan lestari kita juga melatih masyarakat lebih khusus anggota keluarga untuk selalu menjaga dan merawat tanaman di sekitar kita. Apalagi saat ini kondisi iklim dan cuaca di kota-kota besar mengalami  peningkatan yang cukup ekstrim dan cenderung menakutkan. Ditambah lagi, pertumbuhan penduduk, pertambahan jumlah kendaran yang setiap tahun mengalami peningkatan. 

Selain itu jika kita melihat angka kerusakan hutan sudah pada tataran di ambang batas mengkhawatirkan.  Dengan demikian prinsip satu hari satu pohon atau satu tanaman diharapkan generasi muda akan semakin mencintai lingkungan menjaganya sepanjang waktu.

Kendaraan Bermotor (Juga) Sumber Bencana Asap

Mungkin kita sangat peduli bahwa membakar sampah menghasilkan asap yang berbahaya, merokok menghasilkan asap bagi perokok dan orang-orang di sekitarnya dan tentu saja amat berbahaya bagi kesehatan. Penggunaan kayu sebagai bahan bakar juga akan menghasilkan asap yang sama resikonya bagi pencemaran udara. Akan tetapi kita melupakan kendaraan yang setiap hari bertambah bahkan di setiap rumah bisa memiliki lebih dari satu kendaraan padahal asap knalpot kendaraan ini adalah penyumbang devisa pencemaran tertinggi selain cerobong asap pabrik. 

Asap kendaraan yang berbahaya/www.vemale.com


Kenyataan ini amat jauh dari penilaian secara umum yang terkesan dilupakan, entah karena memang kendaraan ini sumber devisa karena pajak kendaraan yang cukup tinggi intensitasnya, atau karena perjanjian kerjasama antara pemerintah dan pihak eksportir kendaraan yang tentu saja akan memberikan lebih banyak keuntungan secara finansial namun tidak memperhatikan begitu sumpek dan pengapnya udara di ibukota. Akibatnya asap kendaraan yang mengandung karbon monoksida di mana zat ini merupakan gas beracun bagi penghisapnya yang setiap hari harus kita temukan.

Apakah yang dihasilkan dari kendaraan bermotor?

Kendaran bermotor baik sepeda motor maupun mobil dan semua kendaraan menggunakan mesin, hakekatnya mereka mengeluarkan gas buang. Gas buang ini jika terlalu banyak menyembur berbentuk asap. Asap tersebut disebabkan karena pembakaran yang tidak sempurna dalam kendaraan. Meskipun kendaraan saat ini sudah dianggap aman, faktanya tingkat polusi di kota-kota besar didominasi oleh asap kendaraan bermotor.
Selain karena asap kendaraan menimbulkan pemanasan global, gas buangan kendaraan bermotor mengandung zat-zat yang beracun. Hal inilah yang membuat udara di perkotaan sangatlah kotor dan membuat sesak napas. Nah, apa sajakah yang dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor? Langsung saja kita simak yang pertama:
  1. Nitrogen (N | tidak berbahaya bagi kesehatan)
  2. Karbon dioksida (CO2 | tidak berbahaya bagi kesehatan)
  3. Uap air (H2O | tidak berbahaya bagi kesehatan)
  4. Karbon monoksida (CO | berbahaya bagi kesehatan)
  5. Nitrogen Oksida (NOx | berbahaya bagi kesehatan)
  6. Sulfur Oksida (SOx | berbahaya bagi kesehatan)
  7. Timbal (Pb | berbahaya bagi kesehatan)
  8. Belerang Oksida (SOx | berbahaya bagi kesehatan)
  9. Asbes (berbahaya bagi kesehatan)
  10. Dan berbagai macam logam berat yang berbahaya bagi kesehatan seperti kadmium, arsenik, mangan, nikel, dan zink.
Gas tersebut diakibatkan oleh pembakaran tidak sempurna. Jika terlalu sering dihirup, asap kendaraan dapat menimbulkan gangguan sistem pernapasan dan berujung pada kanker paru-paru.

Akan tetapi memang kebijakan masuknya kendaraan ke dalam negeri tentu saja akan sejalan dengan besarnya permintaan konsumen dalam negeri. Di mana kita dapat melihat diagram pertumbuhan kendaraan bermotor setiap tahun mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Meskipun menurut pemerintah hal itu menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mulai sejahtera karena bisa membeli kendaraan bermotor meski dengan cara kredit sekalipun.

Namun berbeda dengan negara eropa, contohnya Belanda, ketika kita menyaksikan kebijakan negara tersebut memang sangat membatasi kendaraan bermotor dengan alasan mengurangi pencemaran udara, dan akibatnya, udara yang bersih dan suasana yang nyaman karena sedikitnya asap di udara menjadikan kualitas hidup mereka menjadi lebih baik.

Memang, adapula produsen kendaraan bermotor berdalih mereka dapat mengurangi emisi asap dengan tekhnologi yang canggih. Akan tetapi faktanya tingkat pencemaran udara justru semakin hari semakin meningkat. Tidak saja pemborosan bahan bakar, pencemaran sisa-sisa kendaraan seperti minyak pelumas bekas yang jika dibiarkan semakin lama semakin mematikan ekosistem di negara ini.

Meskipun segala macam upaya untuk mengurangi pencemaran dengan program penanaman seribu pohon sekalipun, tetap akan kontradiktif dengan semakin padatnya volume asap di lingkungan kita karena kendaraan-kendaraan yang setiap hari selalu bertambah.

Lalu bagaimana semestinya pemerintah mengatasi persoalan asap kendaraan ini? 

Sudah cukup banyak penelitian dan pengujian tekhnologi untuk mengurangi polusi asap, misalnya dengan menghasilkan kendaraan-kendaraan yang minim emisi, dan penanaman sejuta pohon, akan tetapi upaya ini akan menjadi sia-sia manakala arus kendaraan yang masuk tidak dibatasi, padahal kondisi ini semakin lama semakin memperparah kondisi kebersihan udara, oleh karena itu menyiapkan kendaraan umum yang benar-benar ramah lingkungan akan sangat penting, meskipun saat ini sudah berjalan akan tetapi ternyata belum sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Membatasi kendaraan pribadi hanya bagi kepentingan yang penting, misalnya jika satu keluarga bekerja dengan jarak yang cukup jauh mungkin memerlukan satu mobil karena di dalamnya dapat menampung semua anggota keluarga sekaligus. Meski mobilitas mereka terganjal kemacetan yang parah di jalan raya. Namun demikian masalah kemacetan ini lambat laun akan teratasi jika kendaraan dikurangi.

Melarang penggunaan kendaraan pribadi ketika bekerja di tempat yang tidak terlalu jauh, hal ini akan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar dan emisi kendaraan selain itu juga sangat menyehatkan.
Para birokrat dan pejabat memberikan contoh bagaimana berpola hidup yang elegan dan sederhana dengan memilih bersepeda ria atau berkendaraan umum dari pada memperbanyak kendaraan di rumah padahal kendaraan tersebut tidak terlalu penting untuk mobilitas.

Andaikan saja mobilitas tidak dapat dijangkau dengan sepeda maka kendaraan berenergi listrik harus semakin digalakkan penggunaannya. Tapi lagi-lagi masalah energi listrik pun menjadi masalah baru. Lalu, kira-kira sampai kapan Indonesia bebas bencana asap? Lihat saja nanti.

Salam

Sabtu, 14 Juni 2014

Kasus Pembakaran Hutan di Riau adalah Persoalan Akut



Metro, 16 March 2014 | 01:07 

Tulisan ini sebuah catatan perjalanan kami tahun 2000, tatkala kami masih menempuh pendidikan strata satu di STAIN Metro, dan kebetulan mendapatkan mandat dari PMII Cab. Metro salah satu organisasi kemahasiswaan.

Tujuannya adalah untuk mengikuti pelatihan advokasi lingkungan. Kebetulan diadakan di sebuah gedung di Kota Pekanbaru. Kota yang menurut kami cukup panas karena sudah sangat minimnya tanaman rindang yang menghiasi setiap sudut kota.

Kebetulan kami berdua yang mendapatkan mandat, dengan ongkos yang teramat sedikit kami beranikan diri untuk “nekad” naik bus menuju ke tempat tujuan. Meski baru kali pertama kami mengenal Provinsi Riau dari dekat. Namun, karena alamat tujuan dan sarana transportasi tersedia, maka tak menjadikan kesulitan berarti bagi kami. Meskipun kota tersebut baru kami kenali dari peta dan siaran televisi saja… terkesan ndusun ya?. Ah nggak masalah karena bagi kami pernah ataupun tidak bukanlah persoalan yang penting tujuannya baik dan tentu saja karena materi ilmunya yang sangat bermanfaat.

Dan alhamdulillah, kami bisa menemukan bus yang kami maksudkan, dengan bus Handoyo kami terpaksa berdiri sampai ke tempat tujuan. Persoalannya karena bus tersebutlah satu-satunya yang terakhir dapat kami temukan sebelum pembukaan acara dimulai. Bukan kami tak mau membayar alias gratis, tetapi karena tempat duduk sudah full jadi kami terpaksa berdiri meski lutut terasa nyeri yang penting bisa sampai ke tempat tujuan dengan selamat.

Di sepanjang jalan kami merasakan keindahan yang tak terkira tatkala perjalan tersebut masih melewati seputaran Kota Palembang, Sumatera Selatan. Tentu saja karena gugusan perbukitan yang membentang membentuk panorama yang indah. Pepohonan masih terawat sehingga terlihat asri. Jalan yang berliku-liku di bawahnya jurang terjal menambah suasana menegangkan dan memacu adrenalin kami.

Penampakan alam terlihat berbeda tatkala kami memasuki wilayah Provinsi Riau. Di sepanjang jalan, kami melewati kawasan hutan yang sudah terbakar. Bahkan ada di antara area yang terbakar asap-asap putih masih mengepul. Dan beberapa kilometer dari lahan terbakar tersebut, sudah tumbuh deretan tanaman karet yang masih berumur beberapa bulan saja. Sontak saja kami terkejut dan keheranan sekaligus gundah gulana.

Keheranan dan kegundahan kami tak sampai di situ, karena kami mendapati banyak hutan yang sudah menggundul membentang sepanjang penglihatan kami. Sungguh ironis, menyedihkan dan miris saya melihatnya. Bahkan saya merasa bersedih tatkala pola masyarakat Provinsi Riau dan perusahaan perkebunan begitu mudahnya melakukan perusakan tanpa mendapatkan sanksi dari pemerintah daerah. Saya pun sedikit menduga, boleh jadi karena ada kongkalikong antara pengusaha dan pejabat daerah.

Kongkalikong tersebut begitu kentara, karena di sepanjang perjalanan kami melintasi area hutan ternyata hutan-hutan di sana habis dibabat dan dipersiapkan menjadi lahan perkebunan. Tak hanya perusahaan besar, sebagian masyarakatnya pun tak kalah gesitnya tatkala membakar lahan-lahan mereka untuk ditanami. Bahkan mungkin pembakaran hutan dan lahan perkebunan sudah dilakukan berpuluh-puluh tahun. Dan sayangnya tidak ada sedikitpun gerak pemerintah daerah atau pusat dalam mencegah pembakaran hutan. Andaikan ada pelarangan hutan, belum ada satupun pengusaha yang tertangkap akibat ulah mereka.

Imbas dari kenakalan petani dan pengusaha perkebunan adalah yang saat ini dirasakan masyarakat Provinsi Riau. Boleh jadi sebelum adanya bencana asap ini, penduduk dan pemerintah daerah kurang responsif terhadap prilaku illegal loging dan pembakaran hutan. Sehingga dampaknya tentu saja kabut asap yang dianggap bencana nasional hakekatnya akibat dari prilaku masyarakatnya yang tidak peduli dan terkesan membiarkan perusakan hutan terjadi secara sistematis.

Melihat proses perusakan yang sistematis tersebut, PB PMII dan difasilitasi dan dilaksanakan oleh PC PMII Riau mengadakan pelatihan advokasi lingkungan. Tujuannya adalah memberikan pelatihan kepada mahasiswa terkait teknis melakukan gugatan secara pidana atas perusakan hutan yang dilakukan oleh masyarakat dan pengusaha perkebunan.

Sayang sekali meskipun catatan kecil ini adalah reportase faktual, kami tidak dapat menayangkan 
bukti kongkrit karena belum memiliki HP berkamera maupun kamera khusus ketika kami melaksanakakn tugas organisasi.

Salam.

Pembuatan Kompos Sebagai Bagian Proses Pendidikan Kesadaran Cinta Lingkungan

kompos
 
 
 
 
Metro, 05 December 2013 | 11:11

Siapapun Anda yang saat ini hidup di daerah pedesaan tentulah tidak asing lagi dengan hewan ternak, bisa berupa sapi, kerbau, kambing, ayam dan hewan ternak lain yang menghasilkan kotoran. Tentu saja sebagai warga desa juga tidak terlalu heran dengan banyaknya kotoran yang menumpuk di sekitar kandang.

Bau yang menyengat dan tentu saja lingkungan yang kotor akibat kotoran hewan ini menjadi pemandangan yang sehari-hari kita temukan. Meskipun terkesan lumrah namun dengan adanya kotoran-kotoran yang menumpuk dan tanpa penanganan yang tepat akan dapat merusak pemandangan dan juga dapat menjadi penyebab pencemaran lingkungan. Misalnya pencemaran air akibat dari meresapnya limbah hewan ini ke dalam sumur kita. Warna air menjadi kecoklatan dan tentu saja mengandung banyak bakteri yang berbahaya. Selain pencemaran air juga dapat mencemari udara akibat bau yang menyengat dan juga asap akibat dari pembakaran yang dilakukan pada kotoran tersebut.

Hal-hal tersebut merupakan aneka dampak negatif adanya limbah hewan ternak di sekitar kita. Yang sejatinya menjadi pemandangan yang cukup mengganggu dan tentu saja berbahaya bagi kesehatan kita.

Akan tetapi, meskipun kotoran hewan ternak tersebut dapat mencemari lingkungan khususnya air sumur, namun keberadaannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Baik pupuk yang tanpa pengolahan maupun yang harus diolah menjadi pupuk kompos. Pupuk yang diperoleh dari kotoran hewan tanpa diolah disebut dengan pupuk kandang. Para petani biasanya memanfaatkannya sebagai pupuk dipekarangan, ladang maupun sawah mereka.

Sehari-hari para petani ini mengangkut kotoran hewan yang masih utuh tersebut ke area persawahan maupun perladangan. Tujuannya sebagai pengganti pupuk kimia dan tentu saja bertujuan mengembalikan unsur hara dalam tanah setelah sekian lama menggunakan pupuk kimia buatan, seperti Urea, TS, KCL dan lain sebagainya.

Dengan menggunakan pupuk kandang tersebut para petani sedikit-demi sedikit mengembalikan kondisi tanah yang sempat terjadi proses pengresukan karena pupuk kimiawi dengan kandungan unsur hara yang terdapat dalam pupuk kandang.
Selain para petani menggunakan pupuk kandang tanpa diolah terlebih dahulu, saat ini pun sudah banyak tekhnologi pertanian yang digunakan untuk membuat pupuk kompos, dengan bahan kotoran hewan ternak yang ada di sekitar kita. Dengan cara praktis dan dan mudah para petani dapat melakukannya tanpa menggunakan cara-cara atau metode yang cukup rumit.

Menurut definisi J.H.Cwaford (2003) kompos adalah hasil dekomposisasi parsial/tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuran bahan-bahan organik oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab dan aerobik.
Proses pembuatannya tidak terlalu rumit yaitu dengan melakukan manipulasi kondisi agar mempercepat pertumbuhan mikroba yang mempermudah proses pembentukan kompos selain itu dilakukan penambahan organisme (cacing) agar proses pembuatan kompos lebih cepat dilakukan.

Tidak hanya petani yang dapat membuat pupuk kompos ini, anak-anak sekolah pun sebenarnya dapat dilatih ketrampilannya dalam menciptakan pupuk alternatif selain pupuk kimia yang dapat mereka pelajari dan mereka buat. Sebagai upaya menanamkan kesadaran akan cinta lingkungan dan tentu saja pengetahuan dan pengalaman hidup (life skill) menciptakan kreasi pupuk dari  kotoran hewan di lingkungan sekitar.

Bagi para siswa, pelatihan pembuatan pupuk kompos sejatinya juga sangat terintegrasi dengan materi pelajaran pokoknya, apalagi dalam konsep pendidikan sepanjang masa (long live education) dan pendidikan tematik, setiap materi yang diajarkan di sekolah akan sangat berkaitan satu materi dengan materi yang lain. Bahkan dengan adanya pelatihan pembuatan pupuk kompos ini sejatinya ada banyak unsur pendidikan yang dapat diperoleh. Diantaranya anak dapat mengenal hewan ternak, kotoran hewan, unsur hara, kandungan kimia, jumlah atau takaran bahan, mengenal waktu, mengenal alat-alat pertanian, dan tentu saja mengenal proses pembuatan secara menyeluruh.

Selain mengkombinasikan segenap pengetahuan, sang anak sudah diajarkan bagaimana menjaga kelangsungan makhluk hidup dan lingkungan serta bagaimana memanfaatkan potensi di lingkungan sekitar sebagai bagian perlindungan alam. Konsep go green pun sudah dilakukan. Belajar ilmu kognitif dikombinasikan dengan belajar afektif dan psikomotorik. 

Bahkan lebih dari sekedar belajar, sang anak akakn mendapatkan bekal yang cukup memadai bagaimana mereka dapat memproduksi pupuk kompos sebagai bagian mencari penghasilan.
Sehingga dengan pelatihan tersebut sejatinya para pendidik telah menanamkan konsep pendidikan secara utuh dan tidak hanya secara parsial. Diharapkan dengan pelatihan tersebut anak secara langsung melakukan proses belajar sambil melakukan dengan tindakan nyata (learning by doing atau doing by learning) melakukan sambil belajar. Sebuah proses pendidikan yang amat komprehensif dan universal.
 
Bagaimana Cara Membuat Pupuk Kompos?

Pembuatan pupuk kompos sejatinya tidaklah sulit, dan dapat dilakukan dalam bedengan yang dibuat persegi dari pasangan bata atau dalam wadah yang dibuat dari drum, namun proses pengeraman harus terjadi sehingga pertumbuhan mikroba dan bakteri dalam komposisi dapat terjadi.

Jika bedengan tidak ditemukan dapat juga dilakukan di atas tanah kering dan ditutup oleh plastik sebagai penahan panas di dalam bahan kompos, sehingga proses keluarnya panas  hasil dari proses pengeraman terjadi.

Terlebih dahulu mempersiapkan alat-alat, seperti cangkul, sarung tangan, pakaian kerja dan tentu saja plastik penutup.

1. Bahan pembuatan kompos

Adapun bahan-bahan yang diperlukan untuk pembuatan kompos lebih khusus kompos yang berbahan dasar kotoran sapi,  adalah sebagai berikut:

1.      Kotoran sapi minimal 40% dan lebih baik jika bercampur dengan urin. Karena kualitas kotoran sapi yang bercampur dengan urin lebih baik daripada yang tidak.
2.      Jika ada boleh menambahkan kotoran ayam, maksimal 25% dari komposisi yang akan dibuat.
3.      Serbuk sabuk kelapa atau dapat digantikan dengan jerami dan sampah rumah tangga, komposisinya sekitar 10%
4.      Abu dapur sekitar 10%
5.      Kapur pertanian (dolomit)  secukupnya.
6.      Stardec sekitar 0,25% (stimulan untuk pertumbuhan mikroba yaitu bahan pemicu tumbuhnya mikroba dalam campuran bahan yang akan dijadikan kompos)
Jika stardec tidak ada dapat diganti dengan kompos yang sudah jadi, sehingga mengalami proses yang sama seperti penggunaan stardec.
Setelah bahan-bahan terkumpul, proses pembuatan kompos dapat dilakukan sebagai berikut:
1.       Sehari sebelum pengomposan terlebih dahulu mencampurkan bahan utama (kotoran sapi, kotoran ayam jika ada,  sabut kelapa/serbuk gergaji, abu dapur dan kapur pertanian (dolomit) secara merata atau ditumpuk mengikuti lapisan yaitu, kotoran ayam dipaling bawah, kemudian kotoran sapi dengan ketinggian maksimul 30 cm (menyesuaikan jumlah kotoran yang tersedia).

2.       Lapisan berikutnya dari kapur pertanian (dolomit) tujuan untuk menaikkan PH pada kompos karena pada PH yang tinggi mikroba akan tumbuh dengan baik tujuannya untuk menurunkan kadar keasaman pada komposisi.

3.       Menambahkan serbuk dari sabut kelapa atau serbuk gergaji.

4.       Menaburkan abu pada bagian paling atas.

5.       Proses penumpukan dapat diulangi seterusnya di bagian atas sampai ketinggian sekitar 1,5 meter.

6.       Pada hari pertama tumpukan bahan disisir atau diaduk dengan stardec sebanyak 0,25% 
atau 2,5 kg untuk campuran sebanyak 1 ton. Dengan bahan tumpukan minimal 80 cm.

7.       Agar kompos tidak terkena panas matahari dan hujan sebaiknya dalam mengolah kompos dilakukan di sebuah bedeng yang beratap.

8.       Tumpukan dibiarkan selama satu minggu tanpa ditutup tujuannya agar suplai udara tetap terjaga dan dilakukan pembalikan pada saat ke 14, 21 dan 28 hari.

9.       Setelah di atas 28 hari, jika kompos sudah berubah warna menjadi hitam pekat, maka proses pembuatan kompos sudah berhasil.

Setelah kompos diperkirakan sudah jadi, kompospun dapat dikeduk dengan cangkul dan dimasukkan ke dalam kantung-kantung plastik dengan tujuan agar lebih mudah menyimpan dan mengangkutnya ke lahan pertanian.

Bisa juga dengan tujuan agar kompos dapat dipasarkan pada masyarakat umum sehingga dijual perkarung dengan harga disesuaikan dengan harga pasaran.

Dengan  pelatihan pembuatan pupuk kompos sejatinya kita sudah membudidayakan pupuk sehat tanpa bahan kimia yang merusak lingkungan. Tapi justru dengan keberadaan pupuk kompos tersebut akan meningkatkan kesuburan tanah setelah tanah beberapa kali ditanami. (maa)

 
Sumber tambahan:

Sri Rini Dwiari, dkk. Teknologi Pangan, Jilid 2 Untuk SMK Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah, Jakarta, 2008