Senin, 16 Juni 2014

Melestarikan Tanaman Produktif di Pekarangan Rumah


Iya juga ya sebenarnya kalau namanya hobi tentang tanaman tidak semuanya sama, ada yg lebih suka ngampar di pekarangan, ada yang langsung di polybag. Tentu alasannya juga beragam. Kalau di pekarangan atau halaman rumah pastinya karena memang ada lahan yang bisa ditanami. Lain halnya kalau tidak ada lahan yang dipakai untuk bertanam ria, tentu saja media polybag atau pot cukup membantu melepaskan hasrat menanam. Entah itu hanya sekedar tanaman bunga seperti yang biasa mbak-mbak kerjakan di rumah, ada pula yang sengaja menanam sayuran dan bumbu masak di pekarangan rumah dengan media polybag tersebut. Ya, seperti Walikota Surabaya Ibu Tri Rismaharini yang akrab di telinga media massa, yang sempat heboh karena kebiasaannya memanfaatkan pekarangan rumah dan kantornya dengan tanaman-tanaman bermanfaat.

Saya teringat sewaktu masih SMA dulu, di mana saya waktu itu memang hobi menanam bunga baik di pot maupun di pekarangan rumah. Tapi ee tahu-tahu ditegur bahkan ada sebagian bunga saya yang dibuang begitu saja. Padahal bunga itu juga tidak mudah mencarinya, harus blusukan (ala Jokowi) ke beberapa rumah tetangga dan teman yang juga mengoleksi bunga. Pantas saja saya pernah disebut cowok berhoby cewek. Wah, jadi jatuh harga diri saya gara-gara sebutan itu. Badan saya aja maco kog malah mengurus bunga-bungaan.

Teringat pula pesan bapak, katanya mending menanam sayuran dan bumbu dapur di pekarang dari pada menanam bunga. Apa alasannya Pak? tanyaku. Yo nek kowe nandur kembang kan ora iso dimanfaatke tapi bedo lek kowe nandor sayuran opo bumbu masak. Pesti kanggone akeh. Dengan logat Jawa yang amat kental sang Bapak memberikan pesan tersebut karena pengalaman beliau yang suka menanam sayuran.

Makanya, setelah saya mendapatkan pesan tersebut langsung saja saya ndeder (menyemai) bibit sedapatnya, bisa terong, cabai atau sledry bahkan sekarang yang lagi kondang tanaman sawi dan bunga kol yang bisa juga ditanam di dalam polybag atau pot. Lalu setelah bibit siap tanam baru saya tanam di tempat yang sudah saya persiapkan.


Sepertinya hobi tanaman memang tidak semua orang suka, lantaran ada laki-laki yang sukanya ngluyur dan pulang-pulang sore atau malam, jadi nggak pernah berfikir bagaimana membudidayakan tanaman yang bermanfaat ‘tuk kebutuhan sehari-hari. Selain ogah, alasannya tentu saja nggak menarik dan  nggak telaten. Nah faktor inilah kenapa banyak laki-laki yang tidak menyukai hobi ini, meskipun ada pula yang sangat gandrung dengan tanaman, apa saja menjadi tanaman hias, bahkan dia menemukan tonggak pohon pun dikeduk lantaran akan dibonsai. Itulah yang namanya hoby.


Kembali kepada melestarikakn tanaman produktif, dimana sejatinya ada banyak tanaman yang dapat kita budidayakan di dalam lahan pekarangan kita. Entah di dalam pot, polybag, paralon, atau gelas-gelas atau botol minumal ringan yang banyak bertebaran di TPA atau di kotak sampah. Tentu saja faktor telaten itupun harus dimiliki oleh penyuka hobi tanaman. Karena dengan cara memungut sampah tersebut sejatinya dia sudah memanfaatkan barang bekas dengan membuatnya menjadi bermanfaat.

Bisa langsung dengan media tanah, bisa juga dengan media air dengan sebutan hydroponik. Itu semua merupakan media untuk menyalurkan hoby terhadap tanaman hias. Tidak melulu bunga yang dijadikan bahan penghias pekarangan.

Kira-kira manfaat manakah menanam tanaman produktif seperti sayur dan bumbu masak di pekarangan dibandingkan menanam bunga? Tentu saja banyak perbedaannya. Pertama jika kita menanam bunga kalau bunga itu tidak untuk dijual alias hanya koleksi dan pajangan maka selamanya bunga itu tidak menghasilkan, bahkan lama-lama juga akan diganti dengan yang baru karena semakin lama semakin tua dan pemiliknya ikut bosan. Beda halnya dengan menanam sayuran atau bumbu masak, tentu manfaatnya selain sebagai penghias halaman, juga dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Kalau kita merasa sudah cukup dengan bumbu dan berniat menjual maka tanaman itu kalau banyak pasti menghasilkan uang. Dan terus menerus berbuah hingga beberapa kali. Seperti cabai dan terong yang dapat dipanen beberapa kali sampai tanaman mati. Tapi berbeda dengan sayuran seperti sawi, bunga kol dan sledry cukup sekali tanam dan sekali itu pula dipanen. Jika ingin menanam lagi tentu saja harus melakukan pembibitan ulang.

Cukup ribet ya? ya itulah namanya hobi, tapi bagi siapa saja yang menyukai tanaman, tentu hati pelakunya akan lebih tenang, ayem dan nggak banyak pikiran. Karena pengalaman saya ketika kita mau membudidayakan tanaman di sekitar kita pertama kita mendapat hiburan murah karena ketenangan ketika menghadapi tanaman-tanaman kita. Kedua kita mendapatkan penghasilan jika tanaman yang kita budidayakan membuahkan hasil yang banyak.

Tapi kalau kita ingin membudidayakan bunga, tentu saja bunga-bunga yang layak dijadikan hiasan namun biasanya harganya cukup mahal. Sehingga jarang sekali orang yang mau membudidayakannya.

Cukup itu saja tulisan saya, sekedar sharing pengalaman mudah2an membuka cakrawala kita bahwa sekecil apapun pekarangan sejatinya harus dimanfatkan semaksimal mungkin. Selain lingkungan bersih, sehat tentu saja menghasilkan. Dan ada bonus tambahan sebagai sarana hiburan.

Salam

Gas LPG Naik, Dampaknya Terhadap Kerusakan Hutan




Selama pagi sahabat-sahabat Indonesia-menghijau. Alhamdulillah disela-sela aktifitas saya di pagi hari saya masih menyempatkan diri untuk berbagi tulisan yang mudah mudahan bermanfaat ‘tuk saya sendiri dan pembaca pada umumnya.

Kali ini saya ingin menanggapi aturan baru pemerintah terkait kenaikan gas LPG. Harga gas LPG 12 kg naik sebesar 3.959/kg  Sumber di sini.  Kebijakan ini berlaku per Januari 2014 dan berlaku hingga keputusan kenaikan harga ini dianulir oleh pemerintah.

Padahal jika sudah sampai ke pedagang pengecer harganya bisa mencapai Rp 150.000 per 12 kg. Bahkan menurut m.jpnn.com bahwa naikan harga tersebut di tangan pengecer tembus pada kisaran harga harga Rp18.000 per 12 kg. Sumber di sini. Kenaikan yang cukup tinggi jika diukur menurut ukuran dapur saya. Ya saya mengukurnya dari isi kantong sendiri. Berbeda jika kebijakan tersebut diukur menurut para pejabat dan pengusaha yang dompetnya penuh dengan lembaran-lembaran rupiah. Akan tetapi untuk kalangan kelas bawah seperti saya sepertinya kenaikannya sangat memberatkan. Coba saja kita hitung, jika biasanya kita bisa bisa menggunakan uang Rp3.000 untuk persiapan uang jajan anak-anak, maka karena kenaikan gas LPG ini otomatis akan memotong jatah anak saya. Otomatis istri saya harus mencari sumber lain untuk menggantikan jatah uang jajan yang sudah terpotong.

Penggunaan gas 12 kg amat jarang dilakukan oleh keluarga yang golongan sederhana, karena mereka rata-rata mendapatkan tabung gas gratis 3 kg yang dibagikan oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Meskipun kenaikan ditujukan untuk tabung ukuran 12 kg ternyata saat ini dampaknya sudah mulai terasa. Karena tidak hanya gas seukuran 12 kg tapi juga berimbas pada gas ukuran 3 kg. Sebuah dampak sistemik yang kemugkinan tidak diharapkan oleh pemerintah, akan tetapi kenaikan tersebut secara otomatis dilakukan terhadap gas ukuran 3 kg karena para pembeli yang biasanya membeli dan menggunakan gas seukuran besar, karena kenaikan harga maka mereka berpindah ke gas 3 kg. Nah, jika semua orang beralih ke gas 3 kg maka stok gas tersebut akan berkurang bahkan habis. Hal itu terjadi karena naiknya permintaan gas 3 kg yang sejatinya diperuntukkan bagi kalangan miskin dan tentu saja disubsidi oleh pemerintah.

Kebijakan yang tentu saja tidak bijak dan tidak memenuhi rasa keadilan jika diukur pada taraf kebutuhan masyarakat pada umumnya. Meskipun kebijakan ini dianggap semata-mata pertimbangan bisnis, akan tetapi dampaknya adalah masyarakat kecil yang hampir semuanya menggunakan gas LPG.

Pada titik ini pemerintah sudah melakukan kesalahan besar karena sebagaimana kebijakan yang dikeluarkan tersebut, terlihat pemerintah tidak lagi mampu mengendalikan hancurnya nilai rupiah lantaran ketidak mampuan mencukupi kebutuhan gas dalam negeri. Ditambah lagi keresahan kalangan miskin yang semakin-lama semakin menjadi lantaran gas 3 kg yang biasanya mereka dapatkan, saat ini sulit ditemukan.

Tidak perlu jauh-jauh saya memberikan contoh, di Kota Metro, Lampung, di mana saya tinggal saat ini harga harga gas 3 kg yang biasanya dijual dengan harga Rp.18.000, karena kenaikan harga tersebut saat ini menjadi Rp 20.000 s.d Rp 21.000 jika dibeli dari pengecer. Bahkan dibeberapa daerah pun mengalami masalah yang sama. Sumber disini

Dampak yang semestinya tak perlu terjadi pada tabung gas jenis ini. Akan tetapi, kebijakan ekonomi pasar lagi-lagi menjadi awal mula semua konflik harga di tangan para penjual. Mereka sengaja menaikkan harga bukan karena tanpa alasan, karena stok yang mulai sulit terpenuhi lantaran tingginya permintaan pasar, ditambah lagi memang gas jenis 3 kg sudah mulai disimpan oleh para pedagang, dengan alasan mengantisipasi kenaikan harga yang sewaktu-waktu terjadi. Spekulasi ekonomi yang menguntungkan pemerintah dan pedagang akan tetapi kiamat bagi para konsumen masyarakat kecil.

Dampak kenaikan harga gas tersebut tidak melulu dirasakan oleh para konsumen skala rumahan. Akan tetapi, para pedagang bakso, gorengan, mie ayam, nasi uduk, sate dan semua pedagang kecil harus merasakan kenaikan ini. Mau tidak mau para pedagang yang biasanya menjual penganan mereka dengan harga standar,otomatis mereka akan menaikkan harganya disesuaikan dengan kenaikan harga gas saat ini.

Satu bagian konflik harga antara pedagang dan konsumen yang sudah terjadi ditambah lagi kenaikan akan berdampak pada harga penganan lainnya yang sepatutnya tidak terjadi. Lagi-lagi masyarakat konsumen golongan miskin menjadi korbannya.

Dampak Kenaikan Gas dan Ancaman Terhadap Hutan di Indonesia

Seperti biasanya, dampak kenaikan bahan bakar akan selalu berdampak kepada sektor lain yang saling berkaitan. Hal tersebut dikarenakan sistem ekonomi selalu selalu bersinggungan antara satu aspek ke aspek lainnya secara otomatis.

Selain dampak kenaikan harga gas berpengaruh terhadap harga-harga lainnya, yang lebih mengkahawatirkan lagi justru terjadi pada kelestarian hutan di Indonesia. Karena secara tidak langsung masyarakat di perdesaan akan kembali menggunakan kayu bakar sebagai alternatif bahan bakar dapur mereka. Karena dengan alasan gas sudah sulit dan mahal, dengan menggunakan kayu bakar dianggap lebih mudah dan efektif lantaran mereka akan memburu kayu bakar yang ada di sekitarnya. Boleh jadi penebangan kayu juga merambah ke hutan di sekitar mereka.  Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat desa-meskipun masyarakat kota masih ada saja yang menggunakannya-akan tetapi karena dampak yang melebar tersebut, hutan-hutan yang sepatutnya dijaga bisa saja mengalami kerusakan lantaran sulitnya mendapatkan bahan bakar untuk memasak.

Sebagaimana kita ketahui, ketika masyarakat masih menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar memasak, kondisi hutan Indonesia pun sudah mengalami kerusakan. Apalagi ketika kondisi bahan bakar gas sudah sulit diperoleh apalagi mahal, maka otomatis dengan sikap alternatif bahan bakar lain. Dan ternyata hanya kayu bakarlah yang saat ini dapat mereka peroleh dengan mudah.
Andaikan masyarakat kesulitan mencari kayu bakar di hutan karena jarak yang jauh, maka para perusak hutan  atau para pelaku ilegal logging mulai melancarkan aksinya. Jikalau semua masyarakat sudah terbentur masalah yang pelik ini maka rakyat sendiri yang jadi korban.

Langkah yang harus dilakukan masyarakat

Langkah sepertinya yang harus dilakukan oleh masyarakat sebagai “korban” kebijakan sepihak pemerintah adalah dengan melakukan penghematan dalam penggunaan gas ini. Karena hanya dengan cara ini kondisi budget akan dapat terjaga dengan aman. Kita tidak bisa meminta pemerintah menurunkan harga gas karena nilai rupiah juga lemah, maka wajar saja semua harga kebutuhan masyarakat dipertaruhkan. Langkah selanjutnya mencari alternatif briket batubara yang dahulu pernah dicanangkan pemerintah sebagai alternatif lain selain gas. Meskipun hal inipun sulit dilakukan karena ketersediaan kompor dan briket memang hanya ditataran program dan tak pernah menyentuh masyarakat bawah.

Jika penggunaan kayu bakar sudah sangat mendesak, maka sepatutnya tetap memperhatiakn konsep pelestarian lingkungan dan hutan sebagai paru-paru dunia. Tidak merusak pohon induk akan tetapi memanfaatkan batang atau ranting yang dapat dipergunakan sebagai bahan bakar.
Hanya itulah mungkin yang saat ini dapat kita lakukan agar kondisi terkait kenaikan gas ini tidak berdampak secara sistemik terhadap kondisi lingkungan kita.

Salam